Pada hari Kamis (20/07), New Energy Nexus Indonesia telah mengadakan Focus Group Discussion dengan topik “Dukungan Untuk Ekosistem Startup Teknologi Energi Bersih di Bali”. FGD ini dihadiri oleh berbagai stakeholder yang mewakili cleantech startup (BTI Energy, Noa Bike, Skuti, Manouv, Azura, dan Electric Wheel), pemerintah daerah (Bappeda Bali, Disnakertransgi Bali, Dishub Bali, BPD Bali, dan PT. Jamkrida Bali Mandara), asosiasi (Asosiasi Dewata Motor Listrik (ADAMOLIS), Asosiasi PLTS Atap (APSA)), inkubator (Inkubator Bisnis Universitas Udayana), lembaga riset (CORE UNUD dan Setrum Analytics), dan masyarakat sipil (Yayasan Wisnu).
Diskusi diawali oleh pemaparan dari PLN Bali, lalu diikuti dengan presentasi dari New Energy Nexus Indonesia serta PT. Jamkrida Bali Mandara, selaku lembaga keuangan di Bali yang memiliki wewenang untuk memberikan penjaminan kredit kepada UMKM dan startup di Bali.
Dalam acara ini, Rayhan Alghifari, Policy & Advocacy Associate New Energy Nexus Indonesia menyampaikan analisisnya terkait tantangan dan peluang yang dimiliki Bali untuk mendukung perkembangan startup teknologi energi bersih di Bali. Rayhan juga menyampaikan peran penting cleantech startup dalam upaya pencapaian target Bali Nol Emisi Bersih 2045.
Menurutnya, saat ini Bali telah menjadi salah satu provinsi yang ambisius dalam aksi iklim dengan ditetapkannya target net zero emission pada tahun 2045. Untuk mencapai target tersebut, pemprov Bali telah membuat Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali, dimana pemerintah berencana untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan efisiensi energi. Tidak hanya itu, sejak 2019, Pemerintah Bali telah mengeluarkan tiga peraturan untuk meningkatkan adopsi teknologi energi bersih di Bali, yaitu Pergub Bali No.45/2019 tentang Bali Energi Bersih, Pergub Bali No. 48/2019 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, serta SE Gubernur Bali No. 5/2022 tentang Pemanfaatan PLTS Atap di Provinsi Bali.
Namun, Rayhan menyampaikan bahwa upaya penurunan emisi di Bali serta pengembangan ekosistem cleantech startup masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah lemahnya implementasi dari regulasi yang sudah ditetapkan. IGN Erlangga Bayu, selaku Founder & CEO dari startup BTI Energy, setuju dengan temuan Nexus dan berpendapat bahwa “pemerintah hanya gembar-gembor pada awal penetapan peraturan saja, tidak disertai dengan implementasi, monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan.”
Selain itu, para pelaku usaha cleantech startup di Bali juga mengeluhkan mengenai sulitnya akses ke pendanaan. Direktur utama startup Electric Wheel, IGN Putra Darmagita, menyebutkan “startup kami kesulitan untuk mencari pendanaan. Kami pernah coba approach BPD Bali untuk mendapatkan pendanaan dari mereka. Namun, BPD meminta sertifikat tanah sebagai jaminan pinjaman modal. Ini sangat berat untuk startup yang biasanya tidak punya aset.”
Tantangan selanjutnya adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat akan teknologi energi bersih. Hal ini disampaikan oleh I Made Wicipta Adi, selaku ketua dari Asosiasi Dewata Motor Listrik (ADAMOLIS). “Edukasi ke masyarakat mengenai keamanan penggunaan kendaraan listrik masih rendah, saya sering mendapatkan pertanyaan apakah baterai kendaraan listrik aman atau tidak untuk digunakan.”
Tantangan lainnya adalah kurangnya SDM lokal yang memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh cleantech startup lokal. Hasil analisis New Energy Nexus Indonesia menunjukkan bahwa hanya 3 dari 177 SMK di Provinsi Bali yang memiliki jurusan di bidang teknologi energi bersih. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lokal belum melihat pentingnya mempersiapkan talenta lokal untuk menyambut era transisi energi di provinsi Bali. Hal ini diamini oleh startup yang hadir dalam FGD ini. Beberapa startup mengaku kesulitan untuk mencari pekerja lokal yang memiliki keahlian di bidang teknologi energi bersih.
Sementara itu, dari sudut pandang pemerintah provinsi Bali, ada sejumlah alasan mengapa pemerintah Bali belum optimal dalam mendukung penggunaan teknologi energi bersih dan perkembangan ekosistem cleantech startup di Pulau Dewata. Pertama, secara kewenangan (otoritas), pemprov Bali memiliki keterbatasan dalam menentukan arah kebijakan di sektor energi. Hal ini mengingat ada stakeholder lain seperti PLN yang memiliki otoritas yang lebih dalam perencanaan dan penggunaan EBT di Bali. Kedua, saat ini, pemprov Bali sendiri memiliki keterbatasan dalam pemberian insentif untuk mendorong penggunaan teknologi energi bersih di Bali dan untuk mendukung startup lokal mengingat minimnya anggaran pemprov dalam masa pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.
“Saat ini pemprov Bali hanya bisa menstimulasi pertumbuhan teknologi energi bersih melalui regulasi saja mengingat keterbatasan keuangan yang kami miliki,” ujar ketua bidang infrastruktur dan kewilayahan Bappeda provinsi Bali, I Ketut Gede Arnawa.
Sebagai penutup, New Energy Nexus Indonesia memberikan rekomendasi kepada pemerintah provinsi Bali dan stakeholder terkait untuk dapat mendukung ekosistem cleantech startup di Bali. Pertama, New Energy Nexus Indonesia mendorong pemprov Bali untuk mengimplementasikan regulasi yang sudah ditetapkan (law enforcement). Kedua, Nexus juga berharap pemerintah menyalurkan pendanaan kepada cleantech startup lokal melalui perangkat daerah seperti BPD Bali dan Jamkrida Bali. Khusus untuk Jamkrida, rencana akuisisi Sarana Bali Ventura dan pembentukan Bali Kerthi Development Fund (BKDF) diharapkan dapat meningkatkan akses cleantech startup lokal ke pendanaan publik. Terakhir, pemprov Bali perlu mengintegrasikan strategi pengembangan ekosistem cleantech startup di Bali ke dalam dokumen perencanaan daerah sebagai bagian dari rencana besar net zero emission di 2045. Perencanaan juga menjadi penting mengingat pengembangan ekosistem startup perlu melibatkan banyak aktor di berbagai sektor diantaranya sektor keuangan, pendidikan, dan inkubator.
Terakhir, New Energy Nexus Indonesia meyakini bahwa perhatian pemerintah provinsi Bali pada ekosistem cleantech startup lokal tidak hanya akan membantu provinsi Bali mencapai target iklimnya, namun juga akan membuka peluang ekonomi yang sangat besar di masa depan misalnya melalui terciptanya lapangan kerja hijau (green jobs) di Pulau Dewata.