Matangi Bali Initiative – Mengembangkan pendekatan inovasi dalam kewirausahaan untuk mencari solusi atasi perubahan iklim di Bali

Dari Oktober 2023 hingga Januari 2024, kami melakukan studi dasar dan melakukan survei kepada penduduk Bali mengenai kewirausahaan iklim sejalan dengan upaya mitigasi dampak perubahan iklim. Studi dasar dilaksanakan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks dan perspektif terkait upaya pengembangan solusi, inovasi, dan kewirausahaan yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, khususnya dalam bidang iklim.

Metodologi pengumpulan data mencakup: tinjauan dokumen, wawancara, diskusi kelompok, dan jajak pendapat daring dari 403  responden yang tinggal di Bali.


Responden jajak pendapat

merupakan orang yang saat ini tinggal di Bali (bekerja dalam waktu lama atau memang tinggal – tidak memandang kewarganegaraan, atau asal dari daerah Indonesia lainnya).


Memahami isu iklim di Bali

97,5% responden mempunyai tingkat kecemasan yang tinggi terhadap perubahan iklim. Kekhawatiran terbesar karena dampaknya pada kesehatan mereka dan keluarga (53%) serta ketersediaan makanan dan air (47%). 

Isu-isu terkait iklim yang paling banyak dirasakan di Bali – disebutkan oleh peserta diskusi kelompok dan jajak pendapat adalah panas ekstrem. 94% responden menyebutkan bahwa suhu yang lebih tinggi adalah perubahan paling signifikan dalam cuaca atau lingkungan dalam beberapa tahun terakhir, yang kedua adalah polusi air dan udara (62% dari responden).

Di beberapa desa, seperti Tigawasa, Buleleng, terjadi penurunan debit air di sungai terdekat. Penebangan hutan dan kekeringan memaksa penduduk untuk melakukan perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan air dari sumbernya. Dalam konteks ini, mengumpulkan air untuk kebutuhan rumah tangga secara tradisi merupakan peran perempuan. 

Selain itu, responden juga menyebutkan bahwa banjir dan curah hujan tinggi merupakan perubahan besar yang mereka alami di lingkungan sekitar. Sejak tahun 2010, terjadi peningkatan frekuensi hujan besar dan banjir besar di Jembrana, Ubud dan Renon. Permukaan air laut di Kabupaten Klungkung juga tercatat naik. 

Mayoritas masyarakat yang tinggal di Bali merasakan perubahan lingkungan ini, mengingat pertanian adalah salah satu sektor penting dalam pergerakan ekonomi dan perkembangan Bali. Pada tahun 2020, sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup besar, yakni 15% terhadap produk domestik bruto Bali. Sampai saat ini, sektor pertanian Bali selalu menjadi penyangga kuat bagi kawasan industri pariwisata yang rapuh karena gejolak ekonomi, sosial dan alam seperti ketika pandemi COVID melanda.


Perkembangan pesat di Bali

Di Bali laki-laki adalah ahli waris tanah (–padahal, banyak perempuan yang bisa menjadi ahli waris jika tidak ada saudara laki-laki dan belum keluar rumah, misalnya untuk menikah). Sehingga, laki-laki cenderung memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait penjualan tanah, bisnis, dan keputusan strategis lainnya. Termasuk juga jual beli tanah untuk pembangunan baru. 

“Sekarang banyak lahan (hijau) yang jadi bangunan, padahal dulu banyak pepohonan. Hal ini berkontribusi terhadap kecemasan terhadap perubahan iklim, yang akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik”.

Hal ini dibenarkan oleh peserta generasi muda dengan menyatakan bahwa alih fungsi lahan telah menimbulkan rasa cemas di kalangan mereka karena hilangnya ruang hijau di Bali.

Perkembangan penduduk dan sektor pariwisata yang pesat di Bali juga membawa beberapa dampak lain:

  • Pertumbuhan penduduk akan mempengaruhi jumlah sampah yang dihasilkan.
  • Terdapat peningkatan pesat dalam penggunaan kendaraan di pulau ini ditambah dengan transportasi umum yang tidak terintegrasi dan tidak memadai. Jejak karbon yang dihasilkan oleh kegiatan pariwisata sangat besar.
  • Limbah makanan disebabkan oleh produksi massal industri pariwisata.
  • Kelebihan sampah organik akibat meningkatnya volume akibat bangkitnya pariwisata (diperkirakan tiga kali lipat sampah yang dihasilkan masyarakat Bali).

Kebijakan umum

Pemerintah daerah dan masyarakat di Bali umumnya sudah mengetahui dan menyadari pentingnya transisi ke energi bersih. Sayangnya, meskipun sudah memiliki kesadaran tersebut, pemerintah Bali justru semakin banyak membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) daripada beralih ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Inkonsistensi antara kebijakan yang telah dibuat dan implementasinya menjadi tantangan terbesar yang dihadapi Bali saat ini.

Ketergantungan Bali pada penggunaan bahan bakar fosil terus berlanjut dengan pembangunan PLTG baru berkapasitas 2×100 MW di Pesanggaran. Meski demikian, di tengah kompleksitas tantangan iklim di Bali, peluang besar untuk melakukan perubahan transformatif juga muncul.

Sebagai catatan positif, Bali unggul dalam kebijakan transisi energi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Provinsi Bali telah menetapkan target NZE pada tahun 2045, yaitu 15 tahun lebih cepat dari target nasional. Inisiatif ini didukung oleh peluncuran regulasi pengembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik.Selengkapnya, NEX Indonesia telah merangkum policy brief mengenai Peran Pemerintah Provinsi Bali dalam Mendukung Ekosistem Startup Teknologi Energi Bersih (Cleantech Startups) di Pulau Dewata. Klik di sini


Isu gender dan kesenjangan 

“Sebagai perempuan pengusaha, kita sering dipandang remeh oleh laki-laki, apalagi jika pasar didominasi oleh laki-laki, misalnya bekerja sama dengan petani lokal.”

Dalam hal kesetaraan akses dan sumber daya bagi perempuan yang ingin menjalankan inisiatif maupun wirausaha sosial, temuan kami dari dua diskusi kelompok menunjukkan bahwa perempuan yang menjalankan wirausaha sosial mendapatkan manfaat dari adanya forum eksklusif bagi perempuan. Namun, mereka juga menyarankan bahwa melibatkan laki-laki dalam diskusi tertentu di forum dapat bermanfaat, sehingga memungkinkan mereka memberikan pemahaman dan melibatkan laki-laki untuk mendukung perempuan dalam dunia usaha. Peserta laki-laki dalam diskusi ini menyatakan kesiapannya untuk mengambil langkah mundur dan memberikan ruang bagi perempuan, terutama laki-laki yang sudah akrab dengan pendidikan kesetaraan gender. Mereka berkomitmen untuk mendukung perempuan dalam kepemimpinan dan mengambil bagian dalam peran pengasuhan. Menerapkan pendidikan kesetaraan gender untuk kelompok laki-laki dapat memberikan hasil yang positif. Melibatkan laki-laki dari kelompok-kelompok ini ke dalam forum perempuan wirausaha sosial dapat menjadi langkah strategis untuk bisa  saling menguntungkan.

Di kalangan perempuan pengusaha, salah satu isu penting yang perlu namun belum banyak dibahas adalah mengenai seberapa ‘lonely’ nya perjalanan seorang wirausaha sosial, khususnya di bidang iklim. Hal ini seringkali menjadi penghalang untuk aktif dalam aksi iklim. Perempuan pengusaha butuh memiliki ruang/forum – hanya untuk perempuan wirausaha sosial. Ruang ini bisa digunakan untuk apa saja – tidak hanya untuk mendiskusikan bisnis namun juga untuk menyediakan sistem pendukung, baik untuk validasi ide, pendapat dan perspektif oleh perempuan wirausaha sosial lainnya. Saat perempuan menjalankan ide atau usahanya sendiri, sensor mandiri terkait sudut pandang mereka terhadap subjek yang kontroversial, seperti kesetaraan gender, dan perempuan dalam lingkungan wirausaha/bisnis/kerja tidak terelakkan. Ruang/forum ini mungkin dapat membantu perempuan wirausahawan sosial dalam mengatasi ketakutan mereka.

“Di sini, produk-produk ‘ramah lingkungan’ hanya mampu dibeli oleh masyarakat dari kelompok sosio-ekonomi kelas menengah ke atas.”

Permasalahan ketidaksetaraan bukan hanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, namun juga terjadi di kalangan perempuan dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. Sebagian besar perempuan pengusaha berasal dari latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas. Produk ramah lingkungan juga seringkali dijual lebih mahal – membuat hanya kalangan tertentu yang bisa mengaksesnya.


Kepercayaan diri dan prasangka menjadi tantangan tersendiri

Baik kaum muda  maupun perempuan, rendahnya kepercayaan diri menjadi tantangan utama dalam mengembangkan kewirausahaan sosial di Bali.

“Meskipun orang Bali memiliki bakat, namun mereka enggan bersaing. Perbedaan suasana di Pulau Jawa dengan Bali sangat mencolok. Para kaum muda di Bali sering ragu dan enggan mengambil posisi kepemimpinan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan lingkungan cenderung bersifat reaktif, lebih condong pada sikap ‘kalau ada kegiatan, undang saya saja’ daripada bersikap proaktif.”

Ujar salah satu peserta diskusi. 

Tidak sedikit orang Bali juga menyatakan bahwa menjadi wirausaha bukanlah opsi yang pernah terlintas dalam benak mereka. Mereka yang menyelesaikan pendidikan, bahkan yang pergi ke luar Bali untuk menempuh pendidikan tinggi,  diharapkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja di sektor pariwisata. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan keluarga besar dan masyarakat, karena keduanya dianggap sebagai jalur karier yang lebih aman, bukan menjadi seorang wirausaha.

Tidak hanya itu, rendahnya kepercayaan diri ini juga berkaitan dengan mengatasi prasangka terhadap produk dan jasa lokal.

“Setiap kali saya memperkenalkan ide atau produk bisnis lokal saya, terlihat bahwa orang-orang sedikit kecewa karena produk yang ramah lingkungan berasal dari dalam negeri, bukan dari luar. Selanjutnya, mereka mulai meragukan kualitas produk saya. Beberapa orang masih memiliki stereotip bahwa produk dari luar negeri lebih unggul dibandingkan produk lokal.”

Kurangnya budaya inovasi di Bali disebabkan oleh minimnya dukungan untuk menjadi wirausaha, terutama karena rendahnya kepercayaan diri dan prasangka terhadap produk dan jasa lokal.


Menyoroti kasus nyata: Bali lautan plastik

Dulu, Bali mempunyai cara sendiri membuang dan mengelola sampahnya. Karena dulu mayoritas sampah rumah tangga merupakan sampah organik, sehingga  Pola Pesan-Pede (Pengelolaan Sampah Mandiri Pedesaan) adalah langkah yang tepat dan diwarisi oleh leluhur. Namun, di beberapa generasi terakhir, lebih banyak hasil sampah plastik dan anorganik lainnya, sehingga metode ini tidak lagi bisa digunakan. 

Masyarakat menginginkan kemudahan dalam menggunakan plastik tetapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan sampah plastik tersebut. Plastik merupakan alternatif termurah– Beberapa produk kemasan organik harganya sangat mahal.

“Ketika prioritas masyarakat adalah kebutuhan dasar, mereka tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan akibat penggunaan plastik, karena biayanya [penggunaan plastik] terjangkau bagi mereka.”

Menurut peserta diskusi kelompok, setiap kali ada pendidikan lingkungan hidup di Bali, khususnya mengenai pengelolaan sampah, target audiensnya selalu perempuan. Seorang peserta diskusi laki-laki menurutkan, laki-laki lebih tidak telaten dalam pengelolaan sampah, berbeda dengan perempuan.

Di sisi lain, dengan banyaknya tanggung jawab yang dibebankan kepada perempuan – menggunakan produk instan memberikan perempuan banyak kemudahan. Tentunya produk-produk instan ini dikemas dengan plastik. Hampir seluruh peserta sepakat bahwa di Bali, waktu dan tenaga perempuan terkonsentrasi untuk mempersiapkan upacara adat. Semua peserta sepakat bahwa penggunaan makanan instan membantu perempuan, sehingga kini mereka punya lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas lain, termasuk mendirikan usaha. Namun, para peserta memaparkan sebuah ironi, bahwa dalam upaya untuk mengurangi beban ganda dan tuntutan perempuan menjalankan multiperan, kita malah mengeksploitasi lingkungan.

Namun, kaum muda tidak tinggal diam, Ida Bagus Madhara Brasika bersama Alfina dan timnya mendirikan Griya Luhu, Sebuah inovasi penyetoran dan pengelolaan sampah berbasis teknologi digital yang menggaet kerja sama antar desa. Griya Luhu merupakan salah satu startup alumni program akselerasi New Energy Nexus Indonesia tahun 2023.

https://youtu.be/JvFH03n_IXU

Sesuaikan dan perluas dukungan agar kaum muda dan perempuan dapat aktif berpartisipasi dalam menciptakan solusi iklim dan berwirausaha

Sangat sedikit dukungan yang diberikan kepada pengusaha iklim di Bali, apalagi pengusaha muda dan perempuan. Di antara dukungan-dukungan untuk pengembangan inovasi dalam kewirausahaan masih terdapat banyak kesenjangan, karena sebagian besar dukungan atau bantuan untuk mereka yang sudah tingkat lanjut dan jarang sekali yang terkonsentrasi di Bali. 

Peserta muda menyatakan bahwa sebagai wirausaha iklim, mereka dapat menginspirasi generasi muda lainnya untuk mengambil kesempatan mengembangkan bisnis ini. Oleh karena itu, forum kaum muda, di mana kaum muda dapat menggunakan media untuk berbagi ide, pengalaman, tantangan dan solusi, akan menjadi  saluran yang efektif untuk bertukar informasi dan berbicara dengan teman-teman mereka. Forum-forum ini juga dapat berfungsi untuk berdiskusi dan memberikan inspirasi untuk bertindak menuju solusi iklim dengan pendekatan yang menyenangkan. Diskusi dapat dilakukan dalam suasana formal (difasilitasi oleh organisasi, sekolah, atau universitas) atau dalam suasana informal, seperti di Banjar atau pada saat pertemuan STT (kumpulan kaum muda lokal Bali). Aspek terpenting dari forum ini, menurut para kaum muda, adalah membiarkan generasi muda sendiri yang merancang forum tersebut. Organisasi lain yang tertarik dapat memberikan dukungan dengan memfasilitasi forum dan memberikan pengalaman.

Sedangkan peserta perempuan menyoroti perlunya ‘ruang’ bagi perempuan wirausahawan sosial untuk mendiskusikan rencana dan ide mereka. Forum perempuan pengusaha ada di Bali, namun bersifat eksklusif dan tidak semua perempuan pengusaha dapat mengaksesnya. Peserta menyarankan adanya ruang/forum perempuan yang lebih inklusif, yang berarti bahwa semua orang, dalam bisnis apa pun atau pada tahap bisnis apa pun dan dari seluruh wilayah di Bali (tidak hanya di wilayah metropolitan Denpasar dan sekitarnya), dapat bergabung.


Pendekatan New Energy Nexus Indonesia

Kami bertujuan untuk mengurangi kekhawatiran yang timbul akibat perubahan iklim di kalangan masyarakat dengan memperkuat ekosistem yang mampu mendukung inovator dan pengusaha di bidang solusi iklim, serta mendukung pengembangan solusi lokal yang terukur. Dengan demikian, inovasi dan kewirausahaan di bidang iklim dapat menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang inklusif.

Perjalanan kami di Bali dimulai pada tahun 2021, di mana kami memberikan dukungan dalam bentuk pengembangan kapasitas kepada para perempuan pengusaha di sektor iklim. Menyadari keterbatasan dalam memberdayakan satu kelompok, kami memperluas pendekatan kami dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk laki-laki,  kaum muda, dan masyarakat setempat, untuk menggali potensi lain dan mengembangkan kepemimpinan secara organik. Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa berbagai suara berkontribusi pada solusi yang berkelanjutan dalam menghadapi perubahan iklim secara efektif. Hari ini, visi kami telah berkembang menjadi Matangi Bali Project.

Matangi Bali Initiative bertujuan untuk mengembangkan pendekatan inovatif dan kewirausahaan yang mendorong terciptanya lapangan kerja hijau, serta pertumbuhan ekonomi di Bali. Dengan memprioritaskan harmoni dengan alam dan memberdayakan beragam bakat lokal sebagai pemain utama, kami bertujuan untuk mengurangi risiko yang dirasakan akibat perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan masyarakat. “Matangi”, yang memiliki arti “bangun kembali”, mewakili esensi dari revitalisasi kehidupan dan aktivitas masyarakat Bali yang selaras dengan alam semesta, sebagaimana yang diperagakan oleh para leluhur masyarakat Bali.

Inisiatif ini adalah diinisiasi oleh New Energy Nexus Indonesia yang merupakan bagian dari Koalisi Bali Emisi Nol Bersih bersama CAST Foundation, IESR & WRI Indonesia. Koalisi Bali Emisi Nol Bersih Didukung oleh Climateworks Foundation & ViriyaENB.

**


Comments are closed