Kevin Lieus Felix adalah Senior Program Associate di New Energy Nexus Indonesia. Ia mendapat gelar Magister Teknik dengan beasiswa dari Universitas Gunadarma. Bersama dengan NEX Indonesia, ia telah membina belasan startup energi bersih dan inovasi iklim. Di waktu luangnya, Kevin menikmati berbagai aktivitas olah raga serta hadir dan membagikan pengalamannya di ruang diskusi.
Saya sering mendengar cerita tentang suku Bajo, yang telah hidup berabad-abad lamanya dalam harmoni dengan ekosistem laut. Kini, sebagai Senior Program Associate untuk Dilau Initiative, sebuah proyek dekarbonisasi pesisir, saya mendapatkan kesempatan untuk lebih mengenal komunitas ini, terutama masyarakat keturunan Bajo yang tinggal di Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Saya merasa benar-benar tenggelam dalam dunia mereka, di mana laut bukan sekadar mata pencaharian, melainkan esensi hidup yang sesungguhnya.
Lahir, hidup, dan mati di atas permukaan laut
Ketika tiba di Pulau Bungin rasanya seperti melangkah ke dunia lain. Tempat ini memberi kesan seperti batas antara darat dan laut terasa kabur, serta ritme kehidupan ditentukan oleh pasang surut air laut. Orang-orang Bajo menganggap laut sebagai sahabat abadi, mereka telah menguasai seni hidup dalam harmoni dengan alam. Ikatan ini yang menarik kami ke Bungin untuk memahami bagaimana kebijaksanaan mereka bisa menjadi panduan menuju cara penangkapan ikan yang berkelanjutan dan pelestarian ekosistem laut.
“Kekitaan” menjadi dasar dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia
Saat kami meluncurkan Dilau Initiative, sebuah pertanyaan terus muncul dalam benak saya, “Apakah keterlibatan masyarakat lokal dan nilai ‘kekitaan’ (rasa identitas kolektif) menghambat atau justru mendukung upaya pembangunan kita?”
Ferdinand Tönnies, seorang sosiolog Jerman, pernah membedakan dua jenis ikatan sosial, yaitu gemeinschaft dan gesellschaft. Gemeinschaft merupakan semangat kebersamaan yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan dan memastikan bahwa kemajuan selaras dengan aspirasi rakyat. Sebaliknya, gesellschaft mencerminkan pendekatan yang lebih individualistis dan kaku terhadap pembangunan.
Masyarakat Bajo mencerminkan semangat gemeinschaft. Pengelolaan sumber daya laut mereka dipandu oleh norma-norma yang tertanam kuat. Hal ini menunjukkan bahwa identitas kolektif dapat menghasilkan praktik berkelanjutan. Bagi mereka, laut adalah teman (sehe), penyembuh (tabar), penyedia makanan (anudinta), sarana mobilitas (lalang), rumah (patambangan), dan sumber kebaikan serta keburukan (pamunang ala’ baka raha’). Pandangan holistik ini memungkinkan mereka untuk menggunakan sumber daya laut dengan bijak, tanpa eksploitasi, serta melindungi terumbu karang (sappa) tempat mereka menangkap ikan.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, “Sejauh mana rasa kebersamaan ‘kekitaan’ berperan dalam proses pembangunan di Indonesia? Sejauh mana kita bisa membenarkan praktik eksploitasi dengan merujuk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’?”. Interpretasi yang keliru ini sering kali lebih banyak menyebabkan kerugian daripada memberikan keuntungan bagi masyarakat.
Meskipun kita ingin masyarakat berkembang, pembangunan yang eksploitatif jelas bukan jalan yang harus ditempuh. Hal ini sering kali mengabaikan masyarakat lokal dan menyingkirkan nilai-nilai gemeinschaft sebagai hambatan bagi kemajuan. Namun, dampak degradasi lingkungan secara tidak proporsional mempengaruhi kaum miskin, yang sangat bergantung pada alam untuk kelangsungan hidup mereka. Mengabaikan kebijaksanaan lokal demi keuntungan jangka pendek adalah bahaya moral yang merugikan masyarakat yang justru ingin kita dukung.
Menambahkan nilai pada pengetahuan lokal
Setelah menghabiskan waktu di Pulau Bungin, saya menyadari bahwa mereka telah menjalani kehidupan berkelanjutan selama berabad-abad, jauh sebelum konsep ini menjadi tren global. Mulai dari pewarna dan pestisida alami hingga hutan sakral dan praktik perikanan yang berkelanjutan. Cara hidup mereka berakar pada upaya meminimalisasi dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan dan menghormati alam sebagai bagian integral dari keberadaan mereka.
Masyarakat Pulau Bungin sudah jauh lebih maju dalam menjalani “gaya hidup berkelanjutan” dengan anggaran rendah, dan saya belajar banyak dari mereka. Kadang-kadang, modernitas merusak tradisi-tradisi ini, membuat hidup lebih merusak baik bagi lingkungan maupun komunitas itu sendiri.
Pembangunan berkelanjutan bergantung pada pembangunan yang bertumpu pada pengetahuan lokal dan pelestarian lingkungan alami. Memberdayakan masyarakat lokal berarti menghormati dan memperkaya pengetahuan mereka, bukan mengabaikannya sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan kemajuan modern.
Filosofi tentang Pulau Bungin yang merupakan tempat orang-orang Bajo telah hidup dalam harmoni dengan lingkungan mereka selama berabad-abad, berubah menjadi kekhawatiran baru. Dengan lebih dari 1.000 nelayan aktif dan banyak kolektor ikan di pulau ini, prediksi terkait potensi pertumbuhan ekonomi sangat besar. Namun, selama musim puncak penangkapan, kualitas rata-rata ikan bisa turun hingga 220 kg per bulan, dengan kerugian mencapai 1,2 ton untuk beberapa kolektor. Akar permasalahannya terletak pada pengetahuan terbatas tentang manajemen pengolahan dan penyimpanan ikan yang efisien.
Di Pulau Bungin, pembangunan berkelanjutan memainkan peran penting. Radiasi matahari yang tinggi di Sumbawa, rata-rata 5,7 kWh/m2, memberikan peluang untuk memanfaatkan energi surya. Dengan memperkenalkan teknologi energi bersih, seperti penyimpanan dingin bertenaga surya, kami dapat memperkaya pengetahuan lokal yang telah menopang masyarakat Bajo selama beberapa generasi. Tujuannya adalah menjaga kualitas ikan yang mereka tangkap, meningkatkan nilai ekonomi perikanan mereka, dan membuka peluang baru untuk perdagangan antar provinsi dan internasional.
Memberikan nilai tambah pada pengetahuan lokal tentang manajemen ikan yang efisien akan membantu mendorong produktivitas ekonomi. Ini adalah cara kami untuk memberi kembali kepada komunitas yang telah melestarikan lingkungan mereka, sambil juga berupaya merangsang ekonomi mereka tanpa mengorbankan integritas sumber daya alam mereka atau meremehkan rasa “kekitaan” mereka.
Penerapan perubahan semacam ini tentu bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan ekosistem yang kuat untuk inovasi dan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan pembangunan yang berakar pada “kekitaan” akan mendorong komunitas lokal untuk menerima perubahan, yang pada akhirnya membawa kemakmuran jangka panjang bagi semua. Hal ini akan sulit untuk dilaksanakan, karena memerlukan ekosistem inovasi dan pembangunan berkelanjutan yang kuat. Namun, kita harus mulai dari suatu tempat, karena ini tentang apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita dalam 25 hingga 50 tahun ke depan.
Seperti yang ditulis oleh Amitav Ghosh dalam bukunya The Nutmeg’s Curse – Parables for a Planet in Crisis:
“Solusi berkelanjutan untuk wilayah pedesaan sering kali terletak pada kebijaksanaan dan tradisi masyarakat mereka. Pemberdayaan berarti menghormati dan membangun pengetahuan lokal ini.”
Sekarang, saya mengerti bahwa peran saya bukan untuk mengubah karakter atau cara hidup mereka yang sudah selaras dengan keberlanjutan, melainkan menawarkan mereka pilihan alternatif untuk cara hidup yang lebih efisien. Peralatannya mungkin berubah, tetapi tujuannya tetap sama, dengan menghormati kearifan lokal.
Tugas kita adalah melanjutkan gaya hidup berkelanjutan yang telah mereka jalani selama berabad-abad, dengan pendekatan yang berbeda dan sedikit solusi teknologi yang diperbarui. Masyarakat berkembang dan membutuhkan pertumbuhan, begitu juga metode kita yang selalu berakar pada tradisi lokal yang telah teruji oleh waktu.